Meski reverensi lawakannya berpusat pada budaya pop kontemporer Amerika Serikat, bukan berarti kita yang berada di belahan dunia lain tidak mengerti. Referensi lelucon dalam Deadpool 2 membentang luas mulai dari dunia hiburan, perebutan hak kekayaan intelektual antarstudio di Hollywood, seni, isu ras, kepemilikan senjata api, sampai stereotipe masyarakat suatu negara maupun bangsa. Jelas terasa bahwa skenario film ini ditulis dengan begitu rapi. Inilah kekuatan utamanya.
Duet penulis Rhett Reese dan Paul Wernick (Zombieland) menampatkan karakter utama, Wade Wilson (Ryan Reynolds), dalam situasi ketika dia bisa berkata dan berbuat hampir apapun. Namun, alurnya tidak menghianati kerangka cerita Deadpool dalam komik dan posisinya di Marvel Cinematic Universe.
Kelebihan itulah yang memberikan Ryan Reynolds yang juga menjadi penulis film ini punya kesempatan memuntahkan dialog-dialog kocak dan konyolnya. Dengan caranya sendiri yang ganjil, Deadpool 2 juga berupaya mengoreksi banyak hal yang kurang sesuai akibat perebutan hak komersial karakter-karakter Komik Marvel.
Metode penyampaian lawakan dalam Deadpool 2 kaya mulai dari musikal, anti-humor, anekdot, surealis, dark comedy, slapstick, dan parodi. Akan tetapi, metode yang paling menonjol dan sering dipakai adalah roasting yaitu mengapresiasi pihak lain dengan cara mengolok-oloknya. Nuansa ini sebenarnya sudah terasa dalam sejumlah trailer Deadpool 2.
Baca Juga: Foto Mesra Maia Estianty dan Ahmad Dhani di Hari Kelulusan Dul Jaelani
Bukan Marvel namanya kalau setiap superhero (dan antihero) di dalamnya tidak punya kepentingan masing-masing dan setiap kepentingan itu saling berbenturan lalu melahirkan konflik. Untuk bisa menikmati komedinya, anggap saja film ini berada di semesta netral yang bisa merasuk ke dimensi manapun. (Fan/Tyd)